Penelitian: Indeks stimulus hijau Indonesia terendah dalam penanganan Covid-19
Vivid Economics, lembaga konsultasi ekonomi strategis asal Inggris, merilis hasil analisis terbaru terkait paket-paket stimulus ekonomi penanganan Covid-19 di 16 negara di dunia.
Dari 16 negara yang dijadikan sampel, Indonesia berada di peringkat paling rendah dalam indeks ‘green stimulus’ atau stimulus hijau kebijakan ekonomi untuk penanganan Covid-19.
Analis Vivid Economics Mateo Salazar mengatakan Indonesia telah menggelontorkan USD27 miliar untuk stimulus fiskal selama masa pandemi Covid-19.
Dari jumlah tersebut, hampir separuh dari stimulus digunakan untuk sektor kesehatan dan perlindungan sosial.
“Pemerintah juga mengumumkan dukungan substansi untuk bisnis, termasuk insentif pajak, pinjaman, dan jaminan yang dalam analisis Vivid menunjukkan bahwa sebagian besar akan diarahkan ke industri yang dapat berdampak ke tata guna lahan,” ujar Salazar dalam keterangan resmi, Rabu.
Dia mengatakan pada negara-negara dengan kebijakan iklim dan keanekaragaman hayati yang tidak memadai, stimulus ini cenderung memperkuat kebijakan yang tinggi emisi dan tidak berkelanjutan.
Sektor-sektor terbesar dalam ekonomi berbagai negara dinilai masih berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca, polusi udara dan air, serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Indonesia uga dinilai tidak memiliki kebijakan konkret untuk memfasilitasi transisi di sektor-sektor tersebut ke jalur yang lebih rendah karbon.
“Akibatnya, stimulus ke sektor-sektor tersebut berisiko memperkuat status quo yang secara signifikan condong ke arah cokelat, memperbesar risiko bagi kesejahteraan warga dan lingkungan dalam jangka pendek dan jangka panjang,” tambah Salazar.
Dia mengatakan analisis ini juga menyoroti Indonesia yang baru-baru ini mengesahkan undang-undang Mineral dan Batu Bara (MINERBA) yang dianggap berisiko merusak komitmen sebelumnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, melestarikan alam, dan memperkuat modal alam.
“Meskipun undang-undang tersebut tidak menanggapi Covid-19 secara eksplisit, sangat mungkin bahwa undang-undang itu merespons peningkatan tekanan terhadap industri dari permintaan yang runtuh dari Cina dan India,” tambah dia.
Sementara itu, sektor tata guna lahan memiliki skor paling coklat atau menunjukkan indikator negatif terhadap dampak lingkungan.
Analisis ini meliputi lima indikator pengukuran yaitu skor climate action tracker yang dinilai sangat tidak memadai, indikator Yale’s Environmental Performance yang dinilai rendah, indeks OECD Environmental Stringency yang disebut sangat rendah, intensitas emisi sektoral dinilai tinggi, dan EIU Agriculture Sustainability yang juga dinilai rendah.
“Indonesia bersama dengan Brasil, telah menunjukkan kebijakan lingkungan yang secara historis sangat lemah dan rentan konversi lahan yang masif,” kata dia.
Indonesia juga disebut melonggarkan pembatasan izin produsen kayu untuk merangsang kegiatan ekonomi yang diiringi dengan pengesahan undang-undang Minerba dan dilihat sebagai ancaman besar terhadap tata guna lahan yang lebih berkelanjutan.